Sejak mulai mengenal sekolah dan tuntutan akademis, saya sadar bahwa Aa Dafa bukanlah anak yang menonjol dalam hal pelajaran sekolah. Ketika ibu-ibu lain bangga saat anak-anak mereka bisa baca tulis diusia 3-4 tahun, saya hanya bisa tersenyum kecil karena saat itu si Aa belum menunjukkan minat calistung. Saya sendiri belum merasa punya urgensi untuk membuatnya cepat lancar membaca atau menulis, jadi saya relatif santai dan cuek saja. Juga ketika ada lomba calistung atau lomba bahasa inggris dan Dafa tidak pernah sekalipun ditunjuk sebagai perwakilan sekolah, saya pun tidak merasa bersedih hati. Sederhananya pemikiran saya adalah karena saya tau : grades don’t measure intellegence.
Begitupun saat menginjak bangku SD ini. Prestasinya biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Kalau ibu-ibu lain mungkin rajin periksa buku catatan dan buku paket anak-anak mereka tiap malam, saya tidak pernah melakukan itu. Hehehe. Ya jujur aja, emang saya pemales sih untuk urusan itu. Juga karena saya sadar, dulu semasa sekolah pun saya bukan murid yang pinter-pinter amat. Jadi sayapun tidak pernah menuntut Dafa untuk selalu membawa hasil ulangan dengan nilai tinggi atau setiap malam mengulang pelajaran dari sekolah. Belajar sejak pukul 08.00-14.00 bagi seorang anak usia 8 tahun rasanya sudah cukup.
Ketakutan jika ia ketinggalan pelajaran sih tentu saja ada. Karenanya saya sebisa mungkin selalu berkomunikasi dengan wali kelasnya sesering mungkin. Seperti kemarin ketika saya mendapati beberapa hasil UTS-nya mendapat nilai yang…ya…gitu deh. Hehehe. Bagi saya sebenernya bukan masalah Dafa harus dapet nilai sempurna. Asalkan dia mengerti konsep yang diajarkan, bagi saya cukup. Dan saya berharap pihak sekolah cukup bijaksana untuk menilai murid tidak hanya dari nilai ulangan atau ujiannya saja.
Alhamdulillah, setelah berbincang cukup lama dengan wali kelasnya, saya merasa sedikit tenang. Jawaban beliau sangat menenangkan : ‘Fatih itu sebenernya kalo secara konsep mengerti, Bun. Konsep perkalian adalah penjumlahan berulang, dia tau. Konsep perkalian bersusun juga dia paham, walau kadang masih sering lupa. Hanya saja, dia sering sekali melamun. Sepertinya pikirannya sedang berada ditempat lain. Termasuk ketika ulangan/ujian. Tapi, saya memperhatikan dia cukup tenang dan yakin setiap ulangan. Jarang sekali tengok kiri-kanan. Kalau ada yang dia tidak mengerti, dia akan bertanya pada gurunya. Bagi saya ini nilai plus, karena saya sendiri selalu mengajarkan pada anak-anak untuk percaya pada kemampuan sendiri. Lebih baik dapat nilai kecil tapi hasil sendiri daripada nilai besar tapi hasil nyontek punya teman. Diluar akademis, saya perhatikan Fatih sangat senang berbagi dan tidak pelit. Kalau bawa bekal, tidak pernah pelit kalau ada temannya yang minta. Bahkan kadang terlalu murah hati sampai rela dia tidak jajan asalkan temennya bisa jajan dari uang sakunya…’
Jadi Nak, jika suatu saat kamu membaca tulisan ini, Bunda berharap saat itu akhlakmu sudah terbentuk sempurna. Bunda tidak akan pernah memintamu pulang kerumah dengan nilai sempurna. Bunda hanya memintamu agar terus menjadi anak yang murah hati, rendah hati, senang berbagi, dan percaya bahwa apapun bisa kamu raih selama kamu yakin dengan kemampuanmu dan bahwa Allah akan selalu membimbing langkahmu. Aamiin.